Geliat Sastra Islam dan Lahirnya Forum Lingkar Pena Malaysia

Posted On Maret 30, 2008

Disimpan dalam Berita dan Peristiwa

Comments Dropped leave a response

Oleh: A.R. Damyati

Demam sastra Islam tidak saja melanda masyarakat Indonesia di Indonesia beberapa tahun terakhir, tapi juga telah memompa geliat masyarakat yang tinggal di luar negeri seperti Belanda, Jerman, Mesir, Jepang, Korea dan lainnya. Adanya nuansa alternatif pada karya sastra Islam, dibanding dengan karya-karya yang sudah ada, memberi semangat baru untuk tidak berputus asa melahirkan sastrawan-sastrawan hebat bervisi Islam di masa mendatang.

Di Malaysia, imigran asal Indonesia yang jumlahnya melebihi dua jutaan ternyata tak sedikit yang punya kegemaran mengapresiasi sastra maupun karya sastra Islami. Sekedar menyebut contoh, novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El-Shirazy menjadi “santapan lezat” di sela-sela kecapean para pekerja, pelajar, diplomat, bahkan guru maupun dosen di sana. Bahkan, ketika Kang Abik, panggilan akrab Habiburrahman, datang sendiri ke Malaysia dalam rangka bedah bukunya setahun lalu, semangat akan apresiasi sastra bernafaskan Islam itu seakan tak terbantahkan lagi.

Pada saat yang sama, keinginan mengapresiasi sastra Islam secara lebih mendalam ternyata tak mendapat wadah yang memuaskan, yang mengarahkan, membimbing, menyalurkan hasil imajinasi mereka yang tak jarang juga kualitasnya sudah memadai untuk diangkat sebagai karya bernilai. Sementara itu, aktivitas hari-hari kadang memaksa mereka melupakan hasil oretan-oretan itu dan terpaksa disimpan rapi hingga ia membisu selamanya. Hal ini menjadi fenomena di kalangan tenaga kerja wanita (TKW) Malaysia asal Indonesia . Banyak sekali dari mereka yang mempunyai potensi untuk meluahkan imajinasinya dalam bentuk karya sastra. Di pihak yang sama para pelajar asal Indonesia yang menyebar di berbagai universitas nampaknya mempunyai hasrat yang tak jauh berbeda, sehingga eksistensi mereka dalam apresiasi sastra juga tak dapat diketepikan.

Merespon fenomena ini, melalui FOKMA (Forum Komunikasi Muslimah Indonesia di Malaysia), Forum Lingkar Pena Cabang Malaysia diluncurkan, pada hari Ahad 23 Maret, di Fakulti Sains dan Teknologi Universiti Kebangsaan Malaysia (FST-UKM). Kurang lebih limaratusan peserta turut menyaksikan lahirnya “mesin” pencetak sastrawan Islam ini. Hadir sebagai tokoh yang meresmikan FLP Malaysia ini, Helvy Tiana Rosa, Ketua Majelis Penulis FLP Indonesia, sekaligus melantik Alwi Alatas, M.Hsc, sejarawan Universitas Islam Antarbangsa (UIA) asal Indonesia yang juga masih adik kelasnya di S1 sastra Universitas Indonesia, sebagai ketua yang akan mengawal suksesnya FLP cabang Malaysia.

FLP cabang Malaysia , menurut salah satu panitia pelaksana acara, sudah ditunggu-tunggu sejak lama dan baru sekarang terlaksana. Sebenarnya semestinya lebih awal dibanding negara-negara yang jaraknya lebih jauh, seperti Mesir, Jerman, dan belanda. Tapi karena banyak kendala, maka terpaksa diundur dan baru sekarang ia lahir di Malaysia .

Dalam acara yang berbeda di Universiti Malaya , sehari sebelumnya, Helvy menyatakan bahwa semua anggota FLP itu relawan. Maksudnya, setiap anggota FLP ibarat bidan yang siap membantu melahirkan penulis-penulis muda yang berbeda dari penulis yang ada dan ikut memperkaya dunia tulis menulis.

Suatu karya, sambungnya, adalah rekam jejak penulisnya. Sehingga, tidaklah seharusnya penulis sembrono meskenario karyanya dengan yang negatif, sebagaimana hal itu marak terurai dalam banyak novel di zaman ini. Apa yang ditulis adalah gambaran karakter penulisnya. Gerakan tulisan juga berbanding lurus dengan gerakan ideologinya. Makanya, aspek ideologi sangat besar dalam tulisan. Tidak mungkin menurutnya tulisan itu tidak mempunyai tujuan, baik positif maupun negatif. Kalau melihat Helvy, Helvy adalah apa yang ia tulis, Taufiq Ismail adalah apa yang ia tulis, Pramoedya Ananta Toer adalah apa yang ia tulis, Jenar Mahesa Ayu apa yang ia tulis, Ayu Utami adalah apa yang ia tulis. “Jadi jangan sampai rekam jejak itu negatif, agar ia tidak memberi gambaran negatif bagi generasi setelah kita,” tambahnya.

Menyinggung statemen beberapa kalangan yang menganggap karya-karya FLP “cemen-cemen”, Helvy menanggapinya dengan santai. “Seburuk-buruk karya anak-anak FLP tidak ada satu pun karya sastra itu yang membuat masyarakat menjadi semakin buruk. Tapi karya sastra yang selama ini dianggap terbaik, itu tidak menjamin bahwa itu tidak membawa ke arah maksiat.”

Anehnya, ketika mengamati sebagian novel yang “terbaik”, hingga mendapatkan berbagai penghargaan, tapi tak sedikit setting ceritanya didominasi oleh adegan seksualitas, yang kemudian dianggap itu semua sebagai pembelaan terhadap hak asasi kaum perempuan, karena selama ini perempuan terlalu sering diinjak-injak harga dirinya. Bagaimana itu dikatakan membela kaum perempuan ketika nantinya karya itu memberi gambaran bagaimana menistakan kehormatan seorang perempuan. “Karya-karya FLP tidak demikian,” tambahnya.

Kalau eksploitasi seksual dalam karya sastra dianggap sebagai perjuangan dalam membela hak-hak perempuan, maka Helvy nyatakan bahwa apa yang dilakukan FLP adalah juga perjuangan, perjuangan melahirkan penulis-penulis besar yang bertanggung jawab.

Cukup membanggakan memang munculnya FLP Cabang Malaysia ini. Namun mengikut harapan banyak orang, karena ia sebenarnya merupakan wadah, begitu juga karya tulis, maka selanjutnya bagaimana mengisi wadah itu. Semakin cantik dan “mahal” isinya maka semakin bernilai di mata masyarakat. Dengan kata lain, semakin dalam ia memberi konstribusi kepada kebaikan, semakin ia mendapatkan mutiara di dasar hati manusia dan tempat yang berharga di sisi Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya, karya-karya hebatnya selalu dinanti-nanti.

A.R. Damyati
Peneliti INSISTS

Sumber : Mailing List PPI Se-Malaysia. (PPIM)

Tinggalkan komentar