Catatan Hati Seorang Istri, bersama Asma Nadia

Posted On Maret 30, 2008

Disimpan dalam Agenda Acara
Tag: ,

Comments Dropped leave a response


Telah kutinggalkan cemburu
di sudut kamar gelap
telah kuhanyutkan duka
pada sungai kecil yang mengalir dari mataku
telah kukabarkan lewat angin gerimis
tentang segala catatan hati
yang terhampar di tiap jengkal sajadah
dalam tahajud dan sujud panjangku

(Catatan Hati Seorang Istri, Asma Nadia)

Setiap diri memiliki cerita. Cerita pedih, cerita sedih, cerita gembira. Semua cerita yang dapat dibagi untuk diambil hikmahnya. Tetapi bagaimanakah cerita itu dapat disampaikan dalam bentuk tulisan yang dapat dinikmati orang lain?

PPI-UM bersama dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Malaysia

mempersembahkan

CATATAN HATI SEORANG ISTRI

Menuangkan pengalaman ke dalam bentuk tulisan

bersama

ASMA NADIA

(penulis profesional, co-founder FLP dan

CEO Lingkar Pena Publishing House)

Hari/Tanggal: Sabtu/5 April 2008

Waktu: 10.00-12.00

Tempat: Auditorium IPS (Institute of Postgraduate Studies) Blok B Tingkat I Universiti Malaya Kuala Lumpur 50603 Malaysia

Biaya partisipasi

Pelajar/Mahasiswa/TKI: RM10

Umum: RM15

(termasuk snack dan sertifikat)

Untuk pendaftaran silakan menghubungi:

Babay Asih (017-655-9824)

Rahmawati Latief (016-276-8632)

Tempat terbatas!

FLP Malaysia

https://flpmalaysia.wordpress.com

http://flpmalaysia.multiply.com


Tentang Asma Nadia

Asma Nadia adalah penulis profesional yang telah banyak menghasilkan karya dengan banyak penghargaan. Ia juga turut membidani lahirnya Forum Lingkar Pena, sebuah perkumpulan untuk membantu penulis-penulis muda, dan menjadi CEO di Lingkar Pena Publishing House. Selain menulis, Asma sering diminta untuk memberi materi dalam berbagai loka karya yang berkaitan dengan penulisan serta keperempuanan.

Tentang Catatan Hati Seorang Istri

Catatan Hati Seorang Istri adalah catatan kisah-kisah kekuatan para perempuan yang disampaikan kembali oleh Asma Nadia. Adalah juga rekaman perjalanan Asma Nadia sebagai seorang istri dan ibu dari dua orang anak. Adalah juga dialog hati, pertanyaan dan ketidakmengertiannya tentang isi kepala laki-laki. Sebuah buku yang tidak hanya perlu dibaca oleh kaum wanita tetapi juga oleh kaum pria.

Karya Asma Nadia ini dicetak ulang hanya dalam tempo dua minggu dan menjadi best seller.

Komentar pembaca

Tak ada yang bisa menebak ke dalam hati seorang wanita. Dan buku yang ditulis dengan penuh penjiwaan ini akan membuat anda mengerti, mengapa wanita bisa tampil begitu kuat di balik segala kelemah-lembutannya. Karena dia adalah malaikat pelindung bagi hati-hati kecil yang dititipkan Allah padanya. Two thumbs up! (Monica Omardi)

Dalam buku ini Asma Nadia bukan sekadar bercerita tentang perasaan dan tragedi perempuan, namun juga menyampaikan hal-hal yang tak kita sangka dan lebih aneh dari fiksi secara sangat menyentuh (Helvy Tiana Rosa)

The condition under which some Indonesian women are put, as described by Asma Nadia, are really harsh and I felt pain. I was also deeply moved by the writer’s warm heart for the female characters in the stories, as well as her deliberate attitude to deal with the subjects.

This is hope, in my opinion. We are human beings before we are artists, before we are men or women, before are Asians. In the other words, we are Asians in the sense that we start from our own reality and we are women in the sense that we will not shut our eyes from the pain around us. (Oh So Yeon, Korean novelist)

Geliat Sastra Islam dan Lahirnya Forum Lingkar Pena Malaysia

Posted On Maret 30, 2008

Disimpan dalam Berita dan Peristiwa

Comments Dropped leave a response

Oleh: A.R. Damyati

Demam sastra Islam tidak saja melanda masyarakat Indonesia di Indonesia beberapa tahun terakhir, tapi juga telah memompa geliat masyarakat yang tinggal di luar negeri seperti Belanda, Jerman, Mesir, Jepang, Korea dan lainnya. Adanya nuansa alternatif pada karya sastra Islam, dibanding dengan karya-karya yang sudah ada, memberi semangat baru untuk tidak berputus asa melahirkan sastrawan-sastrawan hebat bervisi Islam di masa mendatang.

Di Malaysia, imigran asal Indonesia yang jumlahnya melebihi dua jutaan ternyata tak sedikit yang punya kegemaran mengapresiasi sastra maupun karya sastra Islami. Sekedar menyebut contoh, novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El-Shirazy menjadi “santapan lezat” di sela-sela kecapean para pekerja, pelajar, diplomat, bahkan guru maupun dosen di sana. Bahkan, ketika Kang Abik, panggilan akrab Habiburrahman, datang sendiri ke Malaysia dalam rangka bedah bukunya setahun lalu, semangat akan apresiasi sastra bernafaskan Islam itu seakan tak terbantahkan lagi.

Pada saat yang sama, keinginan mengapresiasi sastra Islam secara lebih mendalam ternyata tak mendapat wadah yang memuaskan, yang mengarahkan, membimbing, menyalurkan hasil imajinasi mereka yang tak jarang juga kualitasnya sudah memadai untuk diangkat sebagai karya bernilai. Sementara itu, aktivitas hari-hari kadang memaksa mereka melupakan hasil oretan-oretan itu dan terpaksa disimpan rapi hingga ia membisu selamanya. Hal ini menjadi fenomena di kalangan tenaga kerja wanita (TKW) Malaysia asal Indonesia . Banyak sekali dari mereka yang mempunyai potensi untuk meluahkan imajinasinya dalam bentuk karya sastra. Di pihak yang sama para pelajar asal Indonesia yang menyebar di berbagai universitas nampaknya mempunyai hasrat yang tak jauh berbeda, sehingga eksistensi mereka dalam apresiasi sastra juga tak dapat diketepikan.

Merespon fenomena ini, melalui FOKMA (Forum Komunikasi Muslimah Indonesia di Malaysia), Forum Lingkar Pena Cabang Malaysia diluncurkan, pada hari Ahad 23 Maret, di Fakulti Sains dan Teknologi Universiti Kebangsaan Malaysia (FST-UKM). Kurang lebih limaratusan peserta turut menyaksikan lahirnya “mesin” pencetak sastrawan Islam ini. Hadir sebagai tokoh yang meresmikan FLP Malaysia ini, Helvy Tiana Rosa, Ketua Majelis Penulis FLP Indonesia, sekaligus melantik Alwi Alatas, M.Hsc, sejarawan Universitas Islam Antarbangsa (UIA) asal Indonesia yang juga masih adik kelasnya di S1 sastra Universitas Indonesia, sebagai ketua yang akan mengawal suksesnya FLP cabang Malaysia.

FLP cabang Malaysia , menurut salah satu panitia pelaksana acara, sudah ditunggu-tunggu sejak lama dan baru sekarang terlaksana. Sebenarnya semestinya lebih awal dibanding negara-negara yang jaraknya lebih jauh, seperti Mesir, Jerman, dan belanda. Tapi karena banyak kendala, maka terpaksa diundur dan baru sekarang ia lahir di Malaysia .

Dalam acara yang berbeda di Universiti Malaya , sehari sebelumnya, Helvy menyatakan bahwa semua anggota FLP itu relawan. Maksudnya, setiap anggota FLP ibarat bidan yang siap membantu melahirkan penulis-penulis muda yang berbeda dari penulis yang ada dan ikut memperkaya dunia tulis menulis.

Suatu karya, sambungnya, adalah rekam jejak penulisnya. Sehingga, tidaklah seharusnya penulis sembrono meskenario karyanya dengan yang negatif, sebagaimana hal itu marak terurai dalam banyak novel di zaman ini. Apa yang ditulis adalah gambaran karakter penulisnya. Gerakan tulisan juga berbanding lurus dengan gerakan ideologinya. Makanya, aspek ideologi sangat besar dalam tulisan. Tidak mungkin menurutnya tulisan itu tidak mempunyai tujuan, baik positif maupun negatif. Kalau melihat Helvy, Helvy adalah apa yang ia tulis, Taufiq Ismail adalah apa yang ia tulis, Pramoedya Ananta Toer adalah apa yang ia tulis, Jenar Mahesa Ayu apa yang ia tulis, Ayu Utami adalah apa yang ia tulis. “Jadi jangan sampai rekam jejak itu negatif, agar ia tidak memberi gambaran negatif bagi generasi setelah kita,” tambahnya.

Menyinggung statemen beberapa kalangan yang menganggap karya-karya FLP “cemen-cemen”, Helvy menanggapinya dengan santai. “Seburuk-buruk karya anak-anak FLP tidak ada satu pun karya sastra itu yang membuat masyarakat menjadi semakin buruk. Tapi karya sastra yang selama ini dianggap terbaik, itu tidak menjamin bahwa itu tidak membawa ke arah maksiat.”

Anehnya, ketika mengamati sebagian novel yang “terbaik”, hingga mendapatkan berbagai penghargaan, tapi tak sedikit setting ceritanya didominasi oleh adegan seksualitas, yang kemudian dianggap itu semua sebagai pembelaan terhadap hak asasi kaum perempuan, karena selama ini perempuan terlalu sering diinjak-injak harga dirinya. Bagaimana itu dikatakan membela kaum perempuan ketika nantinya karya itu memberi gambaran bagaimana menistakan kehormatan seorang perempuan. “Karya-karya FLP tidak demikian,” tambahnya.

Kalau eksploitasi seksual dalam karya sastra dianggap sebagai perjuangan dalam membela hak-hak perempuan, maka Helvy nyatakan bahwa apa yang dilakukan FLP adalah juga perjuangan, perjuangan melahirkan penulis-penulis besar yang bertanggung jawab.

Cukup membanggakan memang munculnya FLP Cabang Malaysia ini. Namun mengikut harapan banyak orang, karena ia sebenarnya merupakan wadah, begitu juga karya tulis, maka selanjutnya bagaimana mengisi wadah itu. Semakin cantik dan “mahal” isinya maka semakin bernilai di mata masyarakat. Dengan kata lain, semakin dalam ia memberi konstribusi kepada kebaikan, semakin ia mendapatkan mutiara di dasar hati manusia dan tempat yang berharga di sisi Allah Yang Maha Kuasa. Oleh karenanya, karya-karya hebatnya selalu dinanti-nanti.

A.R. Damyati
Peneliti INSISTS

Sumber : Mailing List PPI Se-Malaysia. (PPIM)